Ketika Manusia Berlari Bersama Teknologi: Sebuah Renungan Iman di Tengah Dunia Digital
Pernahkah Anda merasa dunia ini seperti tak memberi waktu untuk bernapas? Baru saja kita belajar menggunakan satu aplikasi, muncul lagi lima yang baru. Teknologi berkembang lebih cepat dari kemampuan kita menyesuaikan diri. Manusia modern seolah sedang berlomba dengan ciptaannya sendiri.
Dulu, butuh bertahun-tahun untuk menyampaikan pesan ke seberang lautan. Sekarang? Satu sentuhan di layar ponsel, dan dunia ada di genggaman kita. Namun, di tengah kemajuan ini, muncul pertanyaan yang lebih dalam: Apakah manusia semakin dekat dengan Tuhan atau justru semakin jauh?
Manusia tidak puas hanya sebagai ciptaan; ia ingin menjadi pusat kekuasaan, sumber pengetahuan, dan penguasa masa depan. Bukankah ini yang terjadi hari ini?
Kita menciptakan kecerdasan buatan, robot, dan algoritma yang mampu berpikir seperti manusia bahkan kadang lebih cepat daripada manusia itu sendiri.
Kita membangun “menara digital” setinggi langit, dengan nama-nama baru: Cloud, Metaverse, AI, Quantum Realm.
Namun di balik semua itu, Tuhan tetap sama. Ia menatap manusia yang terus mencari kebesaran tanpa menyadari bahwa
Tapi di sisi lain, ia mencuri sesuatu yang sangat berharga: keheningan rohani.
Dulu, waktu doa terasa panjang dan khusyuk. Kini, notifikasi di ponsel membuat hati sulit fokus bahkan dalam ibadah. Kita ingin cepat bahkan dalam hal berdoa.
Manusia modern terbiasa dengan hasil instan, tapi iman tidak bisa di download.
Eksegesisnya menunjukkan bahwa Tuhan mengundang kita untuk melepaskan usaha manusiawi dan menyadari kuasa-Nya.
Namun manusia zaman ini lebih suka mengendalikan segalanya bahkan waktu, bahkan Tuhan. Kita lupa bahwa iman tumbuh bukan dari kecepatan, tapi dari ketenangan.
Ironisnya, di era digital ini banyak yang tidak lagi memegang ponsel melainkan dipegang oleh ponsel. Kita tidak lagi memakai teknologi; teknologi yang memakai kita.
Tapi ada kabar baik: Roh Kudus masih bekerja, bahkan di ruang digital. Banyak orang mengenal Kristus lewat video, podcast, atau ayat yang lewat di media sosial.
Tuhan bisa memakai kemajuan ini untuk membangun bukan menara Babel, tetapi “menara doa” di hati umat-Nya.
Kuncinya bukan menolak kemajuan, tetapi menundukkan teknologi di bawah Firman Tuhan. Sebab hanya Firman yang tidak berubah di tengah dunia yang berubah cepat.
Dulu, butuh bertahun-tahun untuk menyampaikan pesan ke seberang lautan. Sekarang? Satu sentuhan di layar ponsel, dan dunia ada di genggaman kita. Namun, di tengah kemajuan ini, muncul pertanyaan yang lebih dalam: Apakah manusia semakin dekat dengan Tuhan atau justru semakin jauh?
Manusia yang Ingin Menjadi Seperti Allah
Mari kita mundur sejenak ke kisah klasik yang mencerminkan zaman kita - Menara Babel.“Marilah kita mendirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” (Kejadian 11:4)Eksegese dari ayat ini menunjukkan bahwa hasrat membangun menara bukan sekadar proyek arsitektur, melainkan ekspresi keinginan manusia untuk menyaingi posisi Allah.
Manusia tidak puas hanya sebagai ciptaan; ia ingin menjadi pusat kekuasaan, sumber pengetahuan, dan penguasa masa depan. Bukankah ini yang terjadi hari ini?
Kita menciptakan kecerdasan buatan, robot, dan algoritma yang mampu berpikir seperti manusia bahkan kadang lebih cepat daripada manusia itu sendiri.
Kita membangun “menara digital” setinggi langit, dengan nama-nama baru: Cloud, Metaverse, AI, Quantum Realm.
Namun di balik semua itu, Tuhan tetap sama. Ia menatap manusia yang terus mencari kebesaran tanpa menyadari bahwa
“tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5).
Kecepatan yang Mengikis Keheningan
Teknologi membawa banyak berkat: efisiensi, akses informasi, bahkan alat untuk memberitakan Injil.Tapi di sisi lain, ia mencuri sesuatu yang sangat berharga: keheningan rohani.
Dulu, waktu doa terasa panjang dan khusyuk. Kini, notifikasi di ponsel membuat hati sulit fokus bahkan dalam ibadah. Kita ingin cepat bahkan dalam hal berdoa.
Manusia modern terbiasa dengan hasil instan, tapi iman tidak bisa di download.
“Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!” (Mazmur 46:11)Dalam teks aslinya, kata “diam” (Ibrani: raphah) berarti “berhenti berusaha sendiri, lepaskan kontrol.”
Eksegesisnya menunjukkan bahwa Tuhan mengundang kita untuk melepaskan usaha manusiawi dan menyadari kuasa-Nya.
Namun manusia zaman ini lebih suka mengendalikan segalanya bahkan waktu, bahkan Tuhan. Kita lupa bahwa iman tumbuh bukan dari kecepatan, tapi dari ketenangan.
Dari Revolusi Teknologi ke Revolusi Hati
Teknologi bukan musuh. Ia hanyalah alat. Yang jadi persoalan adalah hati manusia yang menggunakannya.“Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh sesuatu.” (1 Korintus 6:12)Eksegese ayat ini mengajarkan prinsip kebebasan yang bijak: Paulus tidak menolak kemajuan, tapi menekankan penguasaan diri rohani. Artinya, manusia boleh mencipta dan memakai teknologi, asal tidak diperhamba olehnya.
Ironisnya, di era digital ini banyak yang tidak lagi memegang ponsel melainkan dipegang oleh ponsel. Kita tidak lagi memakai teknologi; teknologi yang memakai kita.
Tapi ada kabar baik: Roh Kudus masih bekerja, bahkan di ruang digital. Banyak orang mengenal Kristus lewat video, podcast, atau ayat yang lewat di media sosial.
Tuhan bisa memakai kemajuan ini untuk membangun bukan menara Babel, tetapi “menara doa” di hati umat-Nya.
Menuju Masa Depan: Antara Mesin dan Jiwa
Peradaban manusia ke depan akan semakin terhubung tapi bisa juga semakin terasing. Kecerdasan buatan akan menulis, berpikir, bahkan mengajar. Namun hanya manusia yang bisa mengasihi, berdoa, dan menyembah. Itu yang tak bisa ditiru oleh algoritma.“Karena apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” (Markus 8:36)Eksegese ayat ini menunjukkan bahwa nyawa (psuchÄ“ dalam bahasa Yunani) bukan sekadar kehidupan biologis, tetapi inti eksistensi manusia, hubungan dengan Allah. Teknologi bisa memberi dunia, tapi tidak bisa memberi kehidupan kekal.
Penutup: Kembali ke Sumber Terang
Kita tidak bisa menghentikan laju zaman. Tapi kita bisa memilih: Apakah kita akan berlari bersama teknologi menuju Tuhan, atau terseret olehnya menjauh dari Tuhan.Kuncinya bukan menolak kemajuan, tetapi menundukkan teknologi di bawah Firman Tuhan. Sebab hanya Firman yang tidak berubah di tengah dunia yang berubah cepat.
“Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah kita tetap untuk selama-lamanya.” (Yesaya 40:8)
Refleksi Pribadi:
Mungkin hari ini kita tidak sedang membangun menara dari batu bata, tetapi dari kode, data, dan algoritma. Namun Tuhan yang sama masih berbicara:“Kembalilah kepada-Ku, hai anak-anak yang murtad, Aku akan menyembuhkan engkau dari murtadmu.” (Yeremia 3:22)Karena pada akhirnya, bukan seberapa cepat kita berlari yang penting, tetapi kepada siapa kita berlari.

Posting Komentar untuk "Ketika Manusia Berlari Bersama Teknologi: Sebuah Renungan Iman di Tengah Dunia Digital"